Tantangan yang Dihadapi Pernikahan Anak Bungsu dengan Anak Sulung
Tantangan yang dihadapi serikat ini adalah bahwa kedua individu tersebut berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda dan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga sulit untuk membentuk ikatan yang kuat.
Selain itu, anak pertama mungkin memiliki sikap yang lebih bertanggung jawab dan dewasa, sedangkan anak terakhir mungkin lebih riang dan kurang menghargai keseriusan persatuan.
Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dan kurangnya saling pengertian. Selain itu, anak pertama mungkin dibesarkan dalam lingkungan yang lebih tradisional, sedangkan anak terakhir mengalami pengasuhan yang lebih modern, yang mungkin sulit untuk didamaikan.
Terakhir, perbedaan usia antara kedua pasangan juga dapat menjadi tantangan, karena hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam komunikasi dan pemahaman.
Keuntungan Pernikahan ini
Salah satu keuntungan terbesar dari pernikahan ini adalah menciptakan ikatan unik antara dua keluarga. Pasangan tersebut dapat berbagi sumber daya dan dukungan antara keluarga masing-masing, dan dalam beberapa kasus, bahkan saling membantu untuk mengatur keuangan mereka.
Selain itu, perkawinan ini juga dapat menimbulkan rasa percaya yang kuat di antara kedua keluarga, karena dilandasi oleh keyakinan bahwa anak pertama dan terakhir akan menghasilkan hubungan terbaik diantara dua keluarga.
Selain itu, jenis perkawinan ini juga dapat membantu menjembatani kesenjangan antar generasi, karena anak terakhir akan mendapat manfaat dari kebijaksanaan dan pengalaman keluarga pasangannya.
Terakhir, pernikahan jenis ini juga dapat memberikan fondasi yang kuat bagi pasangan tersebut, karena keduanya berada dalam lingkungan yang mendukung dan dapat saling mengandalkan untuk cinta dan pengertian.
Laksana Mimi Lan Mintuna
Mimi lan Mintuna adalah binatang yang tidak pernah berpisah satu sama lain.
Sebab, sifatnya melekat dan tidak pernah berpisah.
Binatang tersebut dijadikan lambang bagi suami istri untuk selalu bersatu padu secara lahir dan batin.
Tujuannya, agar keduanya dapat hidup tenang, tenteram, dan selamat.
Pasangan suami istri yang menjalani kehidupan berumah tangga harus menerapkan asas setel kendho.
Asas tersebut adalah saling mengendalikan keinginan diri dan pasangan agar hubungan harmonis.
Keduanya merupakan tokoh fenomenal dalam cerita pewayangan yang hidupnya selalu rukun, tidak bertengkar ataupun berpisah.
Baca Juga: Cara Menghitung Hari Baik Pernikahan Menurut Primbon Jawa
Masyarakat Jawa secara umum menyebut setiap pasangan suami istri pasca pernikahan dengan istilah garwa (sigaraning nyawa).
Istilah ini dalam bahasa Indonesia diartikan pecahan atau setengahnya nyawa.
Adapun nyawa adalah sumber kehidupan.
Dalam berumah tangga, suami istri harus bersama-sama merasakan suka duka (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul).
Jika suami istri memahami peran mereka sebagai pasangan jiwa, mereka akan sukses menghadapi segala tantangan rumah tangga.
Moms, kehidupan berumah tangga secara umum tidak terlepas dari kecukupan sandang, pangan dan papan.
Kecukupan sandang, pangan, dan papan dianggap sebagai kebutuhan primer.
Secara kalkulatif, tiga kebutuhan primer di atas dapat tercukupi melalui pengelolaan ekonomi rumah tangga secara proporsional dan fungsional (gemi nastiti).
Karakter pemboros yang berbelanja tanpa mempertimbangkan kondisi bertentangan dengan prinsip hidup Jawa yang dikenal sebagai gemi nastiti.
Semakin terkelola dalam mencari dan mengatur keuangan dalam rumah tangga, seseorang akan semakin bahagia.
Perihal ini selaras dengan ajaran Asthagina yang berisi delapan kegunaan yang harus diperhatikan dalam kehidupan berumah tangga di antaranya:
Manfaat Pernikahan Anak Sulung dengan Anak Bungsu
Anak terakhir sering dimanjakan dan dibiasakan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Anak bungsu akan terbiasa memenuhi kebutuhan mereka dan mendapatkan yang terbaik. Di sisi lain, anak pertama akan belajar bagaimana bekerja keras dan berhemat sepanjang hidupnya. Saat keduanya bersatu, mereka akan belajar bagaimana menyeimbangkan satu sama lain dan menciptakan gaya hidup yang menghargai kerja keras dan kenyamanan.
Manfaat serikat adalah cara yang bagus untuk memastikan bahwa kedua pasangan diurus dalam pernikahan mereka.
Dampak Mitos Anak Pertama Menikah dengan Anak Terakhir
Mitos ini memainkan peran besar dalam membentuk nilai, cita-cita, dan kepercayaan suatu masyarakat. Ini dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang tidak dapat dijelaskan, atau untuk memberikan bimbingan moral.
Di banyak budaya, mitos anak pertama menikah dengan anak terakhir dari keluarga yang berbeda adalah hal yang umum. Ini berfungsi untuk memperkuat gagasan bahwa menikahi anggota keluarga termuda adalah penyatuan yang ideal.
Mitos ini didasarkan pada gagasan bahwa anak bungsu lebih manja sehingga lebih cenderung patuh dan menghargai dalam pernikahan. Ini juga menunjukkan bahwa penyatuan dua keluarga yang berbeda dapat bermanfaat dan harmonis, karena anak tertua dan bungsu membawa kekuatan yang berbeda dalam hubungan tersebut.
Pada akhirnya, mitos ini memperkuat gagasan bahwa pernikahan seharusnya tidak hanya didasarkan pada ketertarikan fisik, tetapi pada kualitas yang lebih bermakna seperti kesetiaan dan penghargaan.
Moms, Anak pertama menikah dengan anak terakhir mitosnya tidak akan langgeng.
Bahkan, baiknya untuk tidak menikah. Namun, benarkah demikian?
Menurut kepercayaan Jawa, terdapat sebuah mitos yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat.
Kepercayaan itu berupa pernikahan "tumbu ketemu tutup" yaitu pernikahan anak pertama dengan anak terakhir.
Ada juga yang menyebutkan sebagai perkawinan yang kedua mempelainya dianggap serasi, cocok dan pas.
Serasi di sini dalam artian karakter gaya hidup, misal serasi, rajin dengan rajin.
Dilansir dari UIN Satu Tulungagung Institutional Repository, kepercayaan ini sudah ada sejak zaman dahulu.
Bahkan, dalam karya-karya Sultan Agung, sang raja Jawa yang mengembangkan primbon, neton, dan perjodohan, istilah “tumbu ketemu tutup” tercatat di dalamnya.
Istilah tersebut mengandung makna yang sama, serasi, cocok.
Semisal orang yang hemat menikah dengan orang yang sama hematnya juga, atau orang yang pekerja keras menikah dengan orang yang sama pekerja keras juga.
Pasangan suami istri yang menikah dan dijuluki “Tumbu ketemu tutup” merupakan mereka yang dalam banyak sisi memiliki kecocokan.
Ibarat timbangan, keduanya bernilai sama, tidak berat ataupun ringan sebelah.
Tidak diketahui secara pasti darimana asal mula istilah “tumbu ketemu tutup”, lho Moms.
Namun, istilah "tumbu ketemu tutup" ini terjadi karena adat kebiasaan masyarakat itu sendiri dan mengalir begitu saja menjadi sebuah peribahasa atau ungkapan.
Dari turun temurun sudah ada istilah tersebut, dan itu menjadi kebiasaan orang jawa.
Baca Juga: Begini Cara Menghitung Weton Jawa untuk Pernikahan, Calon Pengantin Wajib Tahu!
Kerugian Perkawinan ini
Mitos anak pertama dan anak terakhir sebagai pernikahan idaman memang cukup menggelitik. Perkawinan ini sering disebut sebagai ‘perkawinan yang pertama dan terakhir’, dan dianggap memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu.
Di satu sisi, pasangan yang lebih tua cenderung lebih dewasa dan berpengalaman, serta dapat memberikan bimbingan dan stabilitas bagi pasangan yang lebih muda. Di sisi lain, pasangan yang lebih tua berpotensi terlalu mengontrol dan mendominasi pasangan yang lebih muda, yang dapat menyebabkan hilangnya kebebasan dan otonomi mereka.
Pada akhirnya, keberhasilan atau kegagalan pernikahan jenis ini bergantung pada kemampuan pasangan untuk berkompromi dan menghormati satu sama lain.
Mikul Dhuwur Mendhem Jero
Anak pertama menikah dengan anak terakhir selanjutnya adalah mikul dhuwur mendhem jero.
Mikul dhuwur mendhem jero adalah sikap seorang anak untuk menjunjung tinggi kehormatan kedua orang tua.
Caranya adalah dengan menyimpan aib serta kekurangan orang tua sebaik mungkin, sekaligus mengharumkan jasa orang tua.
Selain diwajibkan bagi setiap anak, sikap ini secara khusus juga harus dilakukan suami-istri dalam keluarga.
Artinya, seorang suami harus menutup rapat-rapat aib, kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh istri.
Caranya dengan menampilkan kelebihan, keunggulan, serta kehebatan yang dimilikinya.
Begitu pula sebaliknya sikap istri terhadap suami harus mikul dhuwur mendhem jero.
Dengan begitu, perjalanan rumah tangga membuat keluarga harmonis secara lahir maupun batin.
Pasang sumeh njroning ati berarti suami dan istri dalam menjalankan kehidupan rumah tangga harus...
Simak mitos dan fakta seputar pernikahan anak pertama dengan anak pertama menurut primbon Jawa. Apakah benar membawa keberuntungan atau justru sebaliknya?
Asal Usul Mitos anak pertama menikah dengan anak terakhir
Asal muasal mitos bahwa anak pertama menikah dengan anak terakhir sudah ada selama berabad-abad. Diyakini bahwa anak bungsu dalam sebuah keluarga, yang biasanya dibesarkan dengan karakter manja, akan merasa terhibur oleh anak tertua di keluarga lain karena merekalah yang paling dewasa dan bertanggung jawab di antara keduanya.
Ini dianggap menciptakan ikatan yang kuat dan membuat pasangan lebih mungkin untuk tetap bersama. Keyakinan bahwa kombinasi anak tertua dan bungsu dalam keluarga yang berbeda akan memberikan keseimbangan dan stabilitas dalam pernikahan, yang akan membuatnya lebih langgeng.
Ilustrasi pasangan bahagia.
Mitos kedua tentang pernikahan anak pertama dengan anak terakhir yakni akan memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Terciptanya kehidupan rumah tangga yang bahagia karena segala kebebasan dan hasil dari keegoisan bisa diredam dengan baik. Dimana si sulung dengan sifatnya yang mau mengalah dan tidak akan berebut keegoisan dengan si bungsu.