Demokrasi Parlementer
Demokrasi Parlementer disebut juga sebagai Demokrasi Liberal, yang merupakan masa ketika pemerintah Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
Artinya, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen bukan kepada presiden.
Selain itu, Demokrasi Parlementer juga disebut sebagai Demokrasi Liberal karena sistem politik dan ekonomi yang berlaku menggunakan prinsip-prinsip liberal.
Demokrasi Parlementer berlangsung sejak 17 Agustus 1950 hingga 6 Juli 1959.
Pada masa ini, kabinet-kabinet yang bekerja tidak pernah berumur panjang. Sebab, kabinet-kabinet itu dijatuhkan oleh Mosi Tidak Percaya partai-partai politik yang ada di parlemen.
Beberapa kabinet yang pernah memerintah pada masa Demokrasi Parlementer adalah:
Baca juga: Alasan Pemerintah Mengganti Sistem Presidensial ke Parlementer
Demokrasi Terpimpin berlaku setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959, di mana Indonesia resmi beralih dari Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sesuai dengan UUD 1945.
Sementara itu, Soekarno menjelaskan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa adanya anarki liberalisme, tanpa otokrasinya diktator.
Adapun yang dimaksud dari demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan-sentral di tangan seorang sepuh atau tetua.
Menurut Soekarno, sistem demokrasi terpimpin inilah yang sesuai dengan UUD 1945.
Baca juga: Apa Peran Soekarno pada Masa Demokrasi Terpimpin?
Nilai Pancasila Sila ke-4
Bunyi sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Nilai-nilai Pancasila dalam sila ke-4:
Nilai Pancasila Sila ke-5
Bunyi sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila dalam sila ke-5:
Itulah penjelasan mengenai nilai-nilai Pancasila dalam sila ke-1 sampai sila ke-5. Semoga bermanfaat dan selamat belajar.
KOMPAS.com - Sejak merdeka hingga sekarang, Indonesia tercatat telah menerapkan empat sistem demokrasi.
4 sistem demokrasi yang pernah diterapkan di Indonesia adalah:
Baca juga: Penyebab Penyimpangan terhadap Demokrasi Pancasila pada Masa Orde Baru
Demokrasi Parlementer
Demokrasi Parlementer disebut juga sebagai Demokrasi Liberal, yang merupakan masa ketika pemerintah Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
Artinya, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen bukan kepada presiden.
Selain itu, Demokrasi Parlementer juga disebut sebagai Demokrasi Liberal karena sistem politik dan ekonomi yang berlaku menggunakan prinsip-prinsip liberal.
Demokrasi Parlementer berlangsung sejak 17 Agustus 1950 hingga 6 Juli 1959.
Pada masa ini, kabinet-kabinet yang bekerja tidak pernah berumur panjang. Sebab, kabinet-kabinet itu dijatuhkan oleh Mosi Tidak Percaya partai-partai politik yang ada di parlemen.
Beberapa kabinet yang pernah memerintah pada masa Demokrasi Parlementer adalah:
Baca juga: Alasan Pemerintah Mengganti Sistem Presidensial ke Parlementer
Demokrasi Terpimpin berlaku setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959, di mana Indonesia resmi beralih dari Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin.
Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sesuai dengan UUD 1945.
Sementara itu, Soekarno menjelaskan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa adanya anarki liberalisme, tanpa otokrasinya diktator.
Adapun yang dimaksud dari demokrasi kekeluargaan adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan-sentral di tangan seorang sepuh atau tetua.
Menurut Soekarno, sistem demokrasi terpimpin inilah yang sesuai dengan UUD 1945.
Baca juga: Apa Peran Soekarno pada Masa Demokrasi Terpimpin?
Nilai Pancasila Sila ke-2
Bunyi sila ke-2: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Nilai-nilai Pancasila dalam sila ke-2:
Nilai Pancasila Sila ke-3
Bunyi sila ke-3: Persatuan Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila dalam sila ke-3:
Nilai Pancasila Sila ke-1
Bunyi sila ke-1: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nilai-nilai Pancasila dalam sila ke-1:
Demokrasi Pancasila Reformasi
Setelah Soeharto lengser dari jabatan Presiden Indonesia, kedudukannya diganti oleh Wakil Presiden BJ Habibie, pemimpin era Reformasi.
Di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie, berbagai kekangan demokrasi yang berlaku di era Soeharto dihapuskan.
Kemudian, Presiden BJ Habibie juga memberikan kebebasan pers sebagai ruang publik untuk berpartisipasi dalam kebangsaan dan kenegaraan.
Lebih lanjut, sistem multipartai juga diberlakukan pada era Reformasi, yang dapat dilihat pada Pemilihan Umum 1999.
Demokrasi Pancasila Reformasi memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
Indonesia merupakan sebuah kesatuan dari beragam suku bangsa yang juga memiliki perbedaan dalam bahasa, etnik, kepercayaan dan ideologi. Perbedaan tersebut dapat mendorong untuk terjadinya konflik, namun sebaliknya juga dapat menjadikan persatuan dengan terwujudnya sikap saling tolerir antar warga Indonesia. Akan tetapi, untuk mewujudkan persatuan dengan dasar perbedaan yang ada itu, Indonesia membutuhkan nilai-nilai yang dapat mengikatkan masyarakatnya menjadi satu kesatuan (majemuk).
Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Drs.H.Zainut Tauhid Sa’adi,M.Si., selaku Wakil Ketua Pimpinan Badan Sosialisasi MPR RI dalam Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan yang diselenggarakan oleh MPR RI bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan bertempat di Mini Teather Gedung Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) lantai 4 pada Rabu (25/11). Ia menyampaikan bahwa untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia amatlah susah namun bersifat penting dan harus dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. “Konflik di Tolikara dan konflik-konflik antar suku yang terjadi di beberapa daerah merupakan akibat dari kurangnya nilai-nilai yang diterapkan oleh masyarakat,” terangnya.
Oleh karena itu, lanjut Zainut, penting bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki nilai-nilai yang mengikat agar kesatuan bangsa tetap terjaga. Dan nilai-nilai yang mengikat tersebut menurutnya tercermin dalam empat pilar kebangsaan sebagai dasar bernegara. Empat pilar tersebut antara lain, Pancasila sebagai dasar dan Ideologi Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara serta ketetapan MPR dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk Negara, dan pilar keempat yakni Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
Zainut menjelaskan bahwa adanya empat pilar kebangsaan tersebut adalah untuk mewujudkan cita-cita reformasi dan pelaksanaan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara konsekuen serta untuk mengakhiri berbagai persoalan yang terjadi saat ini. “Dengan banyaknya persoalan yang terjadi saat ini, untuk menanganinya jelas memerlukan kesadaran dan komitmen seluruh warga masyarakat untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional. Dan hal ini hanya dapat dicapai jika setiap warga negara Indonesia ini mampu hidup dalam kemajemukan dan bisa mengelola perbedaan yang ada itu dengan baik. Karena itulah mengapa sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan ini terus kami adakan dan kami sampaikan kepada masyarakat luas, termasuk mahasiswa. Sebab Empat Pilar Kebangsaan tersebut merupakan nilai dan norma bangsa yang harus dipahami masyarakat agar menjadi landasan bagi mereka dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga masyarakat Indonesia bisa menjadi masyarakat majemuk dan bisa menghindari konflik yang diakibatkan dari perbedaan,” jelasnya.
Empat pilar tersebut, menurut Zainut juga memiliki makna dan kedudukannya tersendiri bagi bangsa Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa Pancasila memiliki kedudukan sebagai dasar dan ideologi negara, UUD NRI sebagai hukum dasar yang merupakan hukum dasar tertulis dan tertinggi serta merupakan puncak dari seluruh peraturan perundang-undangan. “UUD inilah yang mengatur prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum, pembatasan kekuasaan organ-organ negara, mengatur hubungan antar lembaga-lembaga negara, dan mengatur hubungan antar lembaga-lembaga negara dengan warga negara. Kemudian NKRI sebagai bentuk dan kedaulatan negara mengandung arti bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatannya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, dan Negara Indonesia adalah negara hukum. Dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang digunakan sebagai dasar tuntunan (pegangan hidup) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkapnya.
Anggota DPR RI ini juga menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia perlu pula untuk ikut membantu pemerintah dalam menguatkan 4 Pilar Kebangsaan tersebut. Hal ini dikarenakan tantangan kebangsaan yang menurutnya hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah, harus diselesaikan secara bersama. Ia juga menyebutkan bahwa ada dua tantangan kebangsaan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini, yakni tantangan secara internal dan eksternal. Tantangan kebangsaan yang datang dari internal ini seperti masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama serta munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit, pengabaian terhadap kepentingan daerah serta timbulnya fanatisme kedaerahan, kurang berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinnekaan dan kemajemukan, kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa, dan tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal. “Sedangkan dari segi eksternal, tantangan yang kita hadapi itu seperti pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dan persaingan antar bangsa yang semakin tajam. Selain itu juga, makin kuatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional,” ujarnya.
Zainut juga mengingatkan bahwa rakyat Indonesia merupakan pemilih sah negeri ini. Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah hanya milik sebuah golongan saja, namun milik seluruh lapisan. Sehingga perlu bagi semua masyarakat Indonesia untuk selalu memegang teguh empat pilar kebangsaan yang selalu diserukan oleh pemerintah Republik Indonesia tersebut. (Deansa)
Demokrasi Pancasila Orde Baru
Demokrasi Pancasila Orde Baru berlangsung selama pemerintahan Presiden Soeharto sejak 1966 hingga 1998.
Kehadiran Orde Baru pada saat itu telah membawa perubahan terhadap pemahaman Pancasila di Indonesia.
%PDF-1.3 %Äåòåë§ó ÐÄÆ 5 0 obj << /Length 6 0 R /Filter /FlateDecode >> stream x•ZÙ’ÛÆ}ÇWô#U%BÄF€~Š–ÄVd«dÏTå!ÊHÂ$† AaÑdò±É¯äœÛÝØHÎØ¥*M¯wßšßÔ¯ê›Zà_´Š\?^ª$ôÜd¥ªLýC�Ô›÷µ§6µœX¨z£Þüˆ…]ÞÝ«•¬®T†®¿T°ò]/ðœû£zs¿ñ”§îW3/X½R÷ê¯÷jáú‘zT¡ú…`|‚øïï°„‘ü¨nÅêî=}(¢èáS‘$K.–nûjs”�£Š–î È/T¡î@’‡Ïn-wÍ-§»5÷}wÇÝ5|0¬~¬#Cä|á.@ÈFy„–ÊóA"ö–n¸XMèýœi>—ÿÕ9ݦê]vÚfUª„‚+À¾1dßM|Ï'x?‰ÝÅj©®ƒ[¤Gõ%k·Y{Ú=R� V¡G«ÐÔ6Wo7Ùþ6 PS*z¾Z&ü]©û£)c‘òÇ»Oo?xûÛŸ´„ÕÅw4 ¿¥‡¶hÒZÝe§\ýÖžSµMOêCV§ùI}¼{÷ñO#Aï‚ÀˆÉ"œÍ�i^üðŒTzÊ“¥-ÕRÙ^dÇsz>äMºþËŽ ÝMy¼Ék23=hflP/ß¾»»ÿííûû)”îrÂB€�\>Â?¹ìÌ4AÐ0ÏÄP=hV Û]4_ý§šý”×MY倘G�3+×Ù¦©õTÍêv³·cÈG©ÙÿR¨ïÓï™O«¼lÍ–3;•ëb°W´·þ¥îÿÞ[CàE´Kf¸ðÝÕ*˜`kÔDá6œÊÀœF×’prM³DB‰¶Í>;ºê•ZÕì~Ÿwd@žYeO=æE1ÆÔ~¨“á‚2„öŠAôìÜæõ¦*Ìf†Ï&‡�©€ç쳫åïv$6ÄxÀšºÝÛ¶U~êî€ÒŒí¡;šÐ)m2ÐÇO:}“oêäKë?\-žþ“mqy ¡)ÝÑŠtûc凛’]-Ôì¿'‚�aÚ³Ÿá!E
KOMPAS.com - Sejak merdeka hingga sekarang, Indonesia tercatat telah menerapkan empat sistem demokrasi.
4 sistem demokrasi yang pernah diterapkan di Indonesia adalah:
Baca juga: Penyebab Penyimpangan terhadap Demokrasi Pancasila pada Masa Orde Baru
Demokrasi Pancasila Orde Baru
Demokrasi Pancasila Orde Baru berlangsung selama pemerintahan Presiden Soeharto sejak 1966 hingga 1998.
Kehadiran Orde Baru pada saat itu telah membawa perubahan terhadap pemahaman Pancasila di Indonesia.
Pada masa ini, Pancasila dipertahankan sebagai ideologi dan dasar negara, dengan harapan dapat melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Namun, pada praktiknya, terjadi penyimpangan terhadap sistem Demokrasi Pancasila Orde Baru.
Penyebab terjadinya penyimpangan ini adalah karena ada tuntutan agar Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia.
Kemudian, berkembang pula budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN, sehingga masa Orde Baru juga dikenal sebagai rezim terkorup di Indonesia.
Puncak dari KKN adalah terjadinya krisis ekonomi dan moneter di Indonesia pada 1997.
Sementara itu, salah satu tindakan nepotisme yang dilakukan Soeharto adalah mengeluarkan sekitar delapan keppres yang disinyalir memberi keuntungan bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa Demokrasi Pancasila Orde Baru tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Bahkan pelaksanaan Demokrasi Pancasila disebut-sebut sama dengan kediktatoran.
Baca juga: Sumber Nilai Moral dalam Demokrasi Pancasila